top of page

Sejarah Masuknya Islam di Nusantara

Oleh: Ilyas Ichsani, M.Hum

Pendahuluan 


Mengenai awal masuknya Islam di Nusantara, para sejarawan berbeda pandangan tentang waktu kedatangan, tempat datangnya, dan tokoh penyebarnya. Meskipun demikian, argumentasi mereka juga dilandasi oleh bukti-bukti sesuai kaidah-kaidah ilmu sejarah.


Masuknya Islam di bumi Nusantara masih diperbincangkan dan diperdebatkan oleh beberapa kalangan. ‘Masuk’ di sini menurut M.C. Ricklefs mempunyai dua pengertian, yaitu: 

  1. Adanya persentuhan (ada kontak dengan agama Islam dan kemudian penduduk pribumi menganutnya).

  2. Sudah ada perkembangan komunitas masyarakat Islam (orang-orang Arab, India, Cina, dan lain-lain telah memeluk agama Islam dan menetap di suatu wilayah Nusantara.

 

Setidaknya dari pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa wacana perdebatan itu mencakup tiga hal, yaitu: waktu kedatangan, asal kedatangan, dan para penyebar Islam itu sendiri. Di bawah ini, pemakalah mencoba mengurai pendapat-pendapat tersebut untuk dapat kita pahami lebih jauh tentang muasal islamisasi di Nusantara.

Pendapat tentang Waktu Islamisasi


Dari segi waktu, ada tiga pendapat besar yang menyatakan awal masuknya Islam di Nusantara: 

  1. Islam masuk di Nusantara pada abad ke-13 M/7 H 

Pendapat pertama menyatakan, bahwa Islam di Nusantara ada pada abad ke-13 Masehi, hal ini mengacu pada eksistensi Islam dalam bentuk lembaga kenegaraan (Kerajaan Islam), sehingga keberadaan Islam menjadi lebih luas pengaruhnya pada kawula kebanyakan, yang diakibatkan oleh raja mereka yang telah menganut agama Islam.

Menurut Vlekke, antara agama dan negara bersifat satu, ekspansi pemerintahan Islam atas orang-orang di luar Islam, secara perlahan menjadikan mereka memeluk Islam, kehadiran orang Islam yang memiliki posisi berpengaruh akan mendorong sebagian pelayan dan penduduk mengikuti agama yang mereka anut, dalam hal ini motif-motif tersembunyi dan nonreligius turut menyertai perpindahan keyakinan mereka. 

Hasan Muarif Ambary menyatakan, kehadiran Islam secara lebih nyata terjadi di abad ke-13 M, hal ini dibuktikan oleh penemuan arkeologis berupa makam raja Islam di tanah Aceh, yaitu Sultan Malik Al-Shaleh, di batu nisan tersebut tercantum tahun wafatnya pada bulan Ramadhan 696 H atau setara dengan tahun 1297 M.  Dalam naskah lokal berjudul Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, keduanya mengungkapkan bahwa yang dimaksud Malik Al-Shaleh adalah penguasa pertama dari Kesultanan Samudera Pasai. Meskipun belakangan ditemukan pula makam yang berumur 94 tahun lebih tua di Barus, yakni makam seorang muslimah bernama Tuhar Amisuri yang wafat pada 10 Shafar tahun 602 H. 

 

Hal ini juga diperkuat berdasarkan catatan perjalanan Marcopolo, yang menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Peureulak di Aceh, pada tahun 1292 M. Kesaksian ini ia temukan ketika singgah dalam rute perjalanannya dari Tiongkok menuju Persia, saat itu yang menjadi Sultan adalah Malik Al-Shalih alias Marah Silu yang menganut Mazhab Syafi’i, ia juga merupakan tokoh pendiri Kesultanan Samudera Pasai.  

Para ilmuwan yang menganut paham masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 M ,di antaranya adalah: Beberapa sarjana Barat seperti R.A Kern, C. Snouck Hurgronje, dan B.J.O Schrieke, mereka lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, berdasarkan argumentasi logis sudah adanya beberapa kerajaaan Islam di kawasan Indonesia. 

J.P. Moquette dalam de Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit Hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13. Pendapat yang lebih terang angka tahunnya, yakni dari F.H. van Langen, yang mendasarkan pada berita China yang telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di Aceh pada 1298 M. 

 

   2. Islam masuk di Nusantara pada abad ke-11 M/5 H

Sumber yang menyatakan Islam hadir di Nusantara pada abad 11 M/5 H, adalah pendapat yang merujuk pada temuan arkeologis batu nisan seorang perempuan muslim yang bernama Fatimah binti Maimun, Makamnya ditemukan di daerah Leran, Manyar, daerah Gresik sekarang, provinsi Jawa Timur. Dan temuan makam di Pandarungga (sekarang Panrang, Campa, Vietnam) juga menjadi alasan kuat karena dari informasi yang tertera di kedua batu nisan ini terlihat tulisan nama orang yang wafat beraksara Arab bergaya Kufi dan tahun wafatnya mereka.   

Pada nisan makam Fatimah binti Maimun, terdapat informasi tentang kemangkatan muslimah tersebut tahun 475 H/1082 M atau dengan perkataan lain sekitar abad 11 Masehi. Interpretasi dari batu nisan tersebut, bahwa pernah ada orang Islam yang bermukim bahkan hingga kewafatannya di bumi Nusantara pada abad ke-11.  

Aboe Bakar Atjeh dalam Hasan Muarif Ambary mengemukakan keyakinannya tentang islamisasi pada abad 5 H, dalam suatu forum seminar sejarah Islam di Medan, tahun 1963. Ia mendapatkan informasi dari Junus Djamil, berdasarkan naskah kitab Izhar al-Haqq fii Mamlaka Ferlaq wa Fasi, yang dikarang oleh Abu Ishaq Makarani Al-Fasi. Salah satu informasi dalam Kitab itu berisi tentang daftar nama-nama Sultan Perlak. Meskipun pada kesempatan lain. A. Hasymi mendukung sekaligus membantah pendapat Aboe Bakar Atjeh, bahwa yang sebenarnya angka tertua dari daftar silsilah Sultan Perlak itu, yakni pada tahun 255 H/840 M, ini artinya lebih tua abadnya, bukan abad ke-5 H.   

   3. Islam masuk di Nusantara pada abad ke-7 M/1 H

Kontak penduduk pribumi dengan orang Arab Islam bisa dipastikan sejak awal keberadaan agama Islam itu sendiri, tepatnya di masa Khalifah ketiga dari Khulafa’ ar-Rasyidin, Utsman bin Affan (644-656 M). Ketika itu delegasi-delegasi Arab mulai tiba di istana Cina, kontak antara Cina dengan dunia Islam terutama lewat jalur perairan Indonesia , telah membawa kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha dalam percaturan perdagangan global, di sinilah peran orang-orang Arab Islam yang dipercaya menjadi utusan Sriwijaya dalam tingkat internasional tersebut. 

Jalinan ini kemudian dilanjutkan ketika masa Dinasti Bani Ummayyah, Khalifah pertama, Muawiyah bin Abi Sufyan pernah berkirim surat dengan Sri Maharaja Lokitawarman, raja Sriwijaya dan Ratu Sima di Kalingga, Jepara melalui seorang Cina dari Sinkiang untuk merebut Siangfu agar mendapatkan lada hitam merica. Menurut Zainal Abidin Ahmad bukti korespondensi antara Ratu Sima dan Khalifah Muawiyah dan juga antara Sri Maharaja Sirindrawarman dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz kini masih tersimpan di Granada, Spanyol.  

Di masa Khalifah Sulaiman (yang memerintahkan Thariq bin Ziyad ekspansi ke Spanyol), juga pernah mengirim armada dengan kekuatan 35 buah kapal dari teluk Persi menuju Sriwijaya, pasukan itu berhasil merebut Gujarat di India dan kemudian singgah di Perlak (Aceh), dan berlanjut ke pelabuhan Muara Sabak (Jambi), yang kemudian mereka kenal dengan nama “Zabag”. Di samping itu, para muballigh menjalankan aktivitas dakwahnya, pada tahun 99 H/718, Sri Maharaja Sirindrawarman dari Sriwijaya yang berpusat di Jambi memeluk agama Islam, dan kerajaannya kemudian disebut “Kerajaan Sribuza Islam”. Begitu pula putra Ratu Sima di Kalingga (Jepara), Jay Sima pada 107 H/726 M memeluk agama Islam. 

Kemajuan navigasi pelayaran pada abad-abad tersebut, sangat memungkinkan terjalinnya hubungan simbiosis-mutualis antara pribumi Nusantara dengan orang Arab, Persia, India, dan Cina, bahkan menurut Uka Tjandrasasmita terjadi persaingan antara tiga kerajaan besar, yaitu: Bani Ummayyah mewakili Asia Barat (Arab), Dinasti T’ang di kawasan Asia Timur (Cina), dan Kerajaan Sriwijaya sebagai duta Asia Tenggara (Nusantara). 

Menurut Taufik Abdullah para geograf Arab semenjak abad ke-7 M, secara terus menerus memberikan informasi tentang pulau ‘Zabag’ sebagai daerah kekuasaan ‘Maharaja’ (Sriwijaya/Sumatera), belakangan kata-kata ini juga sebagai identifikasi wilayah lainnya di Sumatera, misalnya Kerajaan Samudera Pasai, ketika seorang wandering scholar (ulama pengelana yang sambil memberikan pelayanan keilmuannya), Ibnu Battuta yang sempat mengunjungi bahkan menetap untuk beberapa hari di Samudera Pasai (Aceh) di tahun 1345 dan akhir tahun 1346.  Pengalaman petualangannya ini ia kemukakan dalam karyanya yang berjudul Tuhfat Al-Nuzzar fii Gharaa’ib Al-Amsar wa ‘Aja’ib Al-Asfar, ia menuturkan bagaimana Sultan Malik Al-Zahir, menyambut rombongan Ibnu Battuta dan memberikan fasilitas-fasilitas lainnya.  

 

Pertama, Pendapat ini dikemukakan dalam Seminar Masuknya Islam di Indonesia (di Aceh tahun 1978). Adapun landasan pemikirannya adalah catatan perjalanan Al-Mas’udi, Sejarawan asal Baghdad (896-956 M), yang menyatakan pada tahun 675 M, raja Arab Muslim pernah mengirim duta ke kerajaan Kalingga (sekarang daerah Jawa Tengah), disebutkan pula bahwa pada tahun 648 M telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.

 

Kedua, Pendapat ilmuwan muslim. Seperti: Sayed Naquib Al-Attas (ilmuwan asal Bogor yang dinaturalisasi Malaysia) yang menyatakan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M dalam karyanya yang berjudul, Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969). Sedangkan Sayed Qodratullah Fatimy menyebutkan tahun 674 M orang Arab Muslim telah masuk Malaya dalam Islam comes to Malaysia. 

 

Berbeda dengan keduanya, seorang ilmuwan muslim lainnya, S. Muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 M sudah ada kontak dengan kaum muslimin Indonesia, setelah orang-orang Islam mewarisi jalur perdagangan yang menghubungkan Laut Merah dan Teluk Persia ke jurusan Timur di Laut Hindia. 

Ketiga, Pendapat ilmuwan Barat, misalnya: Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di Sumatera dalam perjalanannya ke China. Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M. W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese Sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya orang Arab muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim). Dan pendapat T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).

 

Sedangkan dalam pendekatan arkeologis, ditemukan pula makam yang berangka abad ke-1/7M. Dada Meuraxa dalam Sejarah Masuknya Islam ke Bandar Barus, Sumatera Utara, mengemukakan bahwa makam tertua ialah makam Syaikh Ruknuddin di daerah, Barus, Tapanuli, Sumatera Utara. Batu nisan itu menginformasikan bahwa Syekh Rukunuddin wafat dalam usia 100 tahun, 2 bulan, dan 22 hari pada tahun hamim atau hijaratun Nabi. Meuraksa menerjemahkan ha - mim itu 8-40 yang kemudian dijumlahkan menjadi 48 H/670 M. Perhitungan itu berdasarkan Ilmu Falak dari kitab Tajul Muluk.

 

Senada dengan itu, dalam kuliah umum yang disampaikan oleh Syaikh Ismail Ishaq Benjasmith, seorang sejarawan dari Patani, Thailand, mengutarakan hasil penelitiannya pada kompleks pemakaman yang sama, justru yang lebih awal adalah makam salah seorang Sahabat Nabi Muhammad saw, bernama Syaikh Mahmud, yang wafat tahun 31 H, ia berkesimpulan bahwa Syaikh Mahmud adalah guru dari tokoh-tokoh yang juga dimakamkan di tempat yang sama.  

 

Ternyata-Nama-Indonesia-Adalah-Gabungan-

Pendapat tentang Para Penyebar Islam


Beberapa ahli sejarah juga berdebat seputar para penyebar Islam hingga peranan mereka yang cukup berhasil mengislamkan Nusantara yang sebelumnya beragama Hindu, Budha, dan kepercayaan lokal.

  1. Penyebar Islam yang berasal dari India 

Asumsi dasar dari teori India adalah adanya hubungan yang sangat intensif penduduk Nusantara dengan India. Dalam kesaksiannya Ibnu Batutta dalam rihlahnya telah menemukan jalinan perdagangan antara orang-orang Samudera (Sumatera) dengan India, ia sempat bertemu pedagang-pedagang yang berasal dari Sumatera ke salah satu kota dagang di Calicut (India).  Hubungan simbiosis-mutualis antara orang-orang Gujarat (India) dengan penduduk pribumi Nusantara, tidak hanya semata-mata misi keagamaan, dalam hal ini Bernard H.M. Vlekke meyakini motif keagamaan dan perdagangan menjadi satu. 
Hubungan antara Nusantara dengan bangsa India telah terjalin jauh sejak sebelum Islam, Indianisasi wilayah Nusantara dalam hal kepercayaan agama (Hindu dan Budha) dan corak kerajaan-kerajaan adalah buah peradaban yang mewarnai hampir seluruh Nusantara. Adanya unsur Budhisme-Hinduisme, sebagaimana dikemukakan Drewes yang dikutip oleh Sumanto Al-Qurtuby: “...dalam kebudayaan Islam itu tidak hanya terbatas pada bidang arkeologi atau kesusasteraan saja tetapi juga dalam istilah yang terkait dengan ritual Islam seperti ... kata Sembahyang untuk kata Salat (Sic, Shalat)...” .

 

Bukti lainnya, yaitu adanya persamaan budaya antara penduduk pribumi Nusantara dengan adat istiadat yang berkembang di India. Selain itu logika linear batu nisan yang ditemukan di tanah Nusantara sama persis dengan gaya batu nisan yang berada di India.
Tokoh pertama yang mengutarakan teori Anak Benua India adalah seorang ilmuwan dari Universitas Leiden, Belanda yang bernama Pijnappel. Ia mengaitkan Islamisasi Nusantara berkat keuletan orang keturunan Arab yang bermazhab Syafi’i yang menetap di wilayah India. Sarjana Belanda lainnya yang menyimpulkan teori ini adalah Moquette, yang berargumen melalui pendekatan arkeologi, ia melihat adanya kesamaan bentuk batu nisan yang ditemukan di Pasai, kawasan utara Sumatera dan nisan pada makam walisongo pertama (Maulana Malik Ibrahim) di Gresik, Jawa Timur – dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat (India). 

    2.  Penyebar Islam yang berasal dari Persia. 

Pendapat yang dikemukan dari teori Persia ini adalah adanya peran sentral dari tokoh-tokoh yang berbangsa Persia. Peran itu misalnya terlihat ketika seorang tokoh keturunan Kisra (bangsawan) Persia, Pangeran Salman memimpin kerajaan sederhana, Perlak di Aceh yang kelak keturunannya menjadi cikal bakal dari Kesultanan Perlak. 
Teori ini juga meyakini bahwa gelar ‘Syah’ yang dipakai para raja pada kerajaan Islam di Nusantara, seperti: Syed Maulana Abdul Azis, setelah ditahbiskan menjadi Sultan bernama Alaiddin Syah, raja pertama Kesultanan Perlak (memerintah dari 1161-1186 M). Gelar Syah di sini merujuk pada gelar-gelar bangsawan Persia. Apalagi ibu Abdul Aziz adalah putri Pangeran Salman yang keturunan Persia, dan menikah dengan ulama Syi’ah yang bernama Ali bin Muhammad Ja’far Shiddiq.  Gelar ‘Syah’ juga digunakan para Sultan setelahnya, sepeninggal pendiri Kesultanan Perlak tersebut.
Dalil kedua dari teori ini adalah adanya pengaruh paham wujudiyah (Panteisme), yang pernah mewarnai keislaman di Nusantara, seperti: dua ulama Aceh Syamsuddin As-Sumatrani dan Hamzah Fansuri, serta Syaikh Siti Jenar yang berasal dari tanah Jawa. 
Ketiga adanya kontribusi mazhab Syi’ah yang berkembang di tanah Persia, sebagai bangsa yang mewarisi khazanah keislaman dengan perayaan peringatan kewafatan tokoh besar Syi’ah dan juga cucu Nabi (Hasan dan Husen), dalam sebuah acara yang bernama Tabut, seperti yang sering diadakan di Bengkulu, bahkan hingga saat ini Festival Tabut menjadi agenda tahunan provinsi Bengkulu.

 

  3. Penyebar Islam yang berasal dari Cina. 

Pandangan tentang para penyebar Islam yang berasal dari Cina, di era Orde Baru sempat ditabukan. Slamet Muljana, seorang dosen sejarah dari Universitas Indonesia pada tahun 1968 sempat membuat geger dengan pendapatnya yang termuat dalam bukunya yang berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Budha dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, ia menyuarakan tentang peranan Bangsa Cina dalam Islamisasi di Nusantara. Karena pemikirannya ini buku Slamet dibredel dan si pengarangnya dikarangkeng dalam penjara.

 

Dalam teorinya ‘sang profesor’ mengikuti gurunya Mangaradja Onggang Parlindungan yang juga menulis buku kontroversial berjudul Tuanku Rao , kedua tokoh ini merujuk pada arsip penelitian seorang Pejabat Penasihat Urusan Pemerintahan Dalam Negeri (1928), Residen Poortman yang mengutip sumber Cina yang dirampasnya dari Kelenteng Sam Po Kong dan Talang, Semarang, Jawa Tengah. Sumber-sumber Cina ini ditulis oleh Ma Huan, seorang sekretaris dari Laksamana Muslim Cina yang bernama Cheng Ho.  

 

Arus Cina dalam teori penyebaran Islam di Nusantara, tampaknya mengacu pada tokoh besar, seorang panglima angkatan laut di masa Dinasti Ming (1368-1644), yaitu Laksamana Cheng Ho yang telah berhasil mengadakan muhibah ke belahan bumi selama kurun waktu 27 tahun.  Cheng Ho dalam pelayarannya membawa armada 62 kapal besar dan 255 kapal kecil, ekspedisi ini sangat dihargai oleh para sarjana Eropa, dimana bangsa Eropa sendiri seperti; Christoforus Colombus dan Vasco da Gama baru 100 tahun kemudian melakukan pelayaran. 

 

Bukti-bukti tertulis riwayat perjalanan Cheng Ho sempat terekam oleh Ma Huan, tokoh yang ikut dalam ekspedisi tersebut tiga kali dari tujuh kali pelayaran Sang Laksamana. Catatan perjalanannya diabadikan dalam bentuk kronik sejarah yang berjudul Yingyai Shenglan (Peninjauan Umum tentang Pantai-pantai Samudera) yang diterbitkan pada tahun 1451. 

 

Ma Huan mengatakan, bahwa Cheng Ho (atau Zheng Ho dalam bahasa Mandarin) bersama angkatan Laut Cina telah lima kali mengunjungi Nusantara untuk menunjukkan keperkasaan militer kekaisaran Ming, keluhuran budaya Cina, sekaligus mengenalkan Islam di daerah pesisir pantai dan juga pedalaman Jawa dan Sumatera. Daerah di kedua pulau tersebut adalah: Samudera Pasai (Aceh) dan Palembang di pulau Sumatera, serta Cirebon dan Semarang di pulau Jawa.  

 

Selain itu juga ada bukti arkeologis Gedung Batu (Masjid) di Semarang yang berarsitektur Cina, kedua ditemukan pula makam-makam orang Cina Muslim. Ketiga, disinyalir para wali songo juga keturunan bangsa Cina. Slamet Muljana memberi kesimpulan bahwa Sunan Ampel adalah Bong Swi Hoo, menikah dengan anak Kapiten Cina (Gan Eng Cu) di Manila yang bernama Ni Gede Manila, kemudian dari keduanya itu lahirlah Sunan Bonang. Putra Gan Eng Cu yang lainnya adalah Gan Si Cang alias Sunan Kalijaga turut serta dalam pembangunan masjid Demak tahun 1481.

  4. Penyebar Islam yang berasal dari Arab. 

Adapun Pendapat yang terbesar dianut oleh para sejarawan dan ilmuwan Nusantara, mengatakan bahwa Islam bisa menyebar di Nusantara akibat dari pengaruh ulama dan pedagang bangsa Arab. 
Menurut penelitian Berg, orang-orang Arab yang bermukim di Nusantara hampir seluruhnya berasal dari tanah Hadhramaut, Yaman. Sisanya mereka datang dari Maskat, di tepian Teluk Persia, Hijaz, Mesir atau dari pantai Timur Afrika. Di antara orang-orang Arab itu ada yang menetap di Nusantara dan sebagian lagi mereka melanjutkan pengembaraan ke tempat-tempat lain. 


Perjalanan dari Hadhramaut ke Tanah Nusantara berlangsung berbulan-bulan, dikarenakan teknologi pada waktu itu hanya memungkinkan melalui jalur laut dengan menggunakan kapal layar, sedangkan perkembangan pelayaran baru muncul pada tahun 1807 M, dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt di tahun 1765 M.  Dalam pelayaran itu mereka berangkat dari Al-Mokalla atau Asy-Syihr menuju Bombay, dari situ perjalanan dilanjutkan ke Ceilon (Srilanka) dan akhirnya ke Aceh atau Singapura. 

 

Sedangkan menurut Buya Hamka dalam Ahmad Mansur Suryanegara, pada suatu kesempatan seminar masuknya agama Islam ke Indonesia, ia berpendapat dengan merujuk pada berita Cina Dinasti Tang. Ada pun waktu masuknya agama Islam ke Nusantara di Indonesia terjadi pada abad pertama hijriyah atau abad ketujuh Masehi.  
Belakangan pada abad ke-10 hingga akhir abad ke-13 Masehi, menurut Azyumardi Azra terjadi migrasi besar-besaran ulama-ulama dan sufi terutama yang beraliran Suni, akibat tidak kondusifnya perpolitikan Dinasti Abbasiyah. Ulama dan sufi inilah yang mempercepat konversi ke dalam agama Islam di wilayah-wilayah Anak Benua India, Eropa Timur dan Tenggara, serta kepulauan Nusantara. 

 

Peranan para keturunan Nabi Muhammad saw, juga sangat berperan terhadap islamisasi di Nusantara. Ada beberapa identifikasi gelar bagi keturunan Nabi tersebut, menurut Sayyid Muhammad Ahmad Al-Syatri dalam bukunya berjudul Sirah Al-Salaf min Bani Alawi Al-Husainiyyin sebagaimana dikutip oleh Idrus Alwi Al-Masyhur;  Pertama, gelar Imam (dari abad ke-3 sampai ke-7 H), tahap ini ditandai oleh perjuangan Ahmad Al-Muhajir dan keluarganya menghadapi kaum Khariji. Kedua, Syaikh (Abad ke-7 hingga ke-11 H), diawali oleh kemunculan Muhammad Faqih Al-Muqaddam, yang ditandai oleh perkembangan tasawuf dan bidang perekonomian, serta berkembangnya keturunan Al-Muhajir. Ketiga, Habib (dari pertengahan abad ke-11 hingga ke-14 H), ditandai oleh migrasinya (hijrah) kaum Alawiyin keluar Hadhramaut (termasuk ke Nusantara). Keempat, Sayyid (mulai abad ke-14), tahap ini adalah mundurnya kecermelangan kaum ‘Alawiyin di Hadhramaut, karena sebagian tokohnya banyak yang hijrah ke Asia dan Afrika. 

 

Jejak para keturunan Nabi ini, nampaknya tidak menemukan kesulitan yang berarti untuk dapat diterima ajaran dan dakwahnya di Nusantara, salah satu penyebabnya di sini karena pendekatannya berbasis pada budaya dan tradisi lokal. Selain itu, wibawanya sebagai keturunan Nabi, penduduk pribumi menghormatinya pada strata yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya meskipun di dalam Islam tidak mengenal prinsip kasta.

 

Pendapat terakhir tentang peranan orang Arab inilah yang melandasi ontentifikasi Islam di Bumi Pertiwi, karena itu islamisasi di Nusantara bukan dari tangan kedua atau ketiga, tetapi langsung dari sumber asli kedatangannya Islam pertama kali di tanah Arab. Persepsi publik Muslim meyakini, meskipun ada pengaruh Gujarat-India, tetapi orang-orang ini tetap beretnis Arab. Semangat otentifikasi orang terdahulu tercermin dari usaha penyusunan genealogi para wali dan sultan yang sampai pada para Sayyid di Arab yang dilakukan oleh para sasatrawan Babad. Jadi perdebatan tentang otentifikasi Islam di Nusantara muncul bukan karena terjadinya pertempuran wacana antara kaum fundamentalis dengan liberal Islam.

Pendapat tentang Teori Penyebaran Islam


Di bawah ini akan dikemukakan pendapat para tokoh beserta argumentasinya tentang teori-teori penyebaran Islam di Nusantara: 

  1. Pijnappel menyatakan bahwa Islam hadir di Nusantara berkat peranan orang-orang yang datang dari anak benua India, hal itu terbukti dengan adanya kesamaan Madzhab yang dianut kaum pribumi Nusantara dengan penduduk Muslim di Gujarat dan Malabar

  2. Berbeda sedikit dengan Snouck Hurgronje, yang beragumentasi India Selatan (Muslim Deccan) yang menyebarkan Islam sampai ke Nusantara. Perdagangan yang terjalin antara bangsa Timur Tengah dan India turut memperkenalkan tradisi keislaman yang dianut oleh bangsa India Selatan. Dalam muhibah perdagangan itu, turut serta para Sayyid Arab (keturunan Nabi Muhammad saw). Intensitas perdagangan ini terjadi pada abad ke-12 Masehi. 

  3. J.P. Moquette berpandangan justru Gujarat Pesisir Selatan Indialah yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Rujukan dari pandangannya ini adalah interpretasi tentang temuan arkeologis batu nisan.

  4. S.Q Fatimi mempunyai pandangan bahwa anak benua India, Bengal, yang turut meramaikan teori penyebar Islam di Nusantara. Argumentasinya berlandaskan adanya kesamaan bentuk batu Nisan.

  5. Bahkan secara gamblang William Winstedt, menyebutkan India Selatan Gujarat yang mengekspor batu nisan ke Gresik, Bruas, dan Pasai.

  6. Sedangkan B.J.O Schrieke berpandangan sama dengan J.P Moquette yang mengislamkan Nusantara adalah tokoh-tokoh yang berasal dari Gujarat Pesisir Selatan India. Di sini Peranan Pedagang Gujarat sangat krusial. Ia juga mengemukakan tentang Teori Balapan, dalam Indonesian Sociological Studies (1955 & 1957), yang menyatakan bahwa ada saling balap atau rebutan pengaruh antara penganut Islam dengan nonislam, sehingga terjadilah Islamisasi secara Massif.

  7. Marrison berpendapat Islam datang dari anak benua India, yakni tepatnya di daerah Coromandel. Alasannya tidak mungkin Gujarat yang mengislamkan bumi pertiwi, padahal Islam sendiri di Cambay baru dikuasai pada tahun 699 H/1298 M, Baru dikuasai Muslim. Sedangkan raja Kerajaan Islam Aceh pertama Malik Shalih baru wafat tahun 698 H/1297 M.

  8. Sedangkan Arnold berpendapat Coromandel, Malabar, dan Arab yang berperan penting terhadap islmisasi Nusantara, adapun dalilnya adalah: Kesamaan Mazhab Syafi’i, Abad ke-7 Masehi, telah ada nucleus (perkampungan) Arab di Sumatera.

  9. Adapun Buzurg bin Shahriyar Al-Ramhurmuzi pada tahun 390 H/1000 M dalam kitabnya ‘Ajaib Al-Hind  (Keajaiban Hindia), menyatakan telah ada umat Muslim di Kerajaan Zabaj/Sumatera bagian Selatan. 

  10. Crawfurd menegaskan bahwa orang Arab Islam yang berperan penting dalam tersebarnya Islam di Nusantara, meskipun ada kontak dari orang India dengan kaum pribumi.

  11. Berbeda dengan pendapat di atas, Keyzer malah menyatakan orang Mesirlah yang mengislamkan Nusantara, hal ini karena adanya asumsi persamaan Madzhab Syafi’i dengan penganut Islam di Nusantara

  12. Begitu pula Niemann dan de Holander berpedoman pada pandangan orang Hadhramaut yang turut serta dalam islamisi, argumennya adalah karena adanya kesamaan madzhab Syafi’i.

  13. Veth menguatkan pendapat Crawfurd, bahwa tokoh-tokoh Arab sangat berperan terhadap islamisasi di Nusantara. Para penyebar mengadakan perkawinan campur dengan penduduk pribumi.

  14. Sayyid Naquib Al-Attas menguatkan teori Arab bahwa Literatur Keagamaan bercorak Arab Islam meskipun orang Arab ini datang berdagang dari India dan Persia. Mengutip Sayyid Naquib Al-Attas dalam Republika, 20 Oktober 2011, pada bukunya yang berjudul Historical Fact and Fiction (UTM, 2011).

 

Al-Attas mendasari dari sumber lokal, yakni Hikayat Raja Pasai: Nabi SAW, Menganjurkan para Sahabat berdakwah ke daerah “Samudera”. Dalam Kajian Semantik Q.S Al-Insaan ayat 5, kata “Kaafuuraan”  :

 

 

 

 

 

 

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur,

Al-Attas menjelaskan: Kafur berasal dari kata ‘Kafara’ yang artinya ‘tertutup’ atau ‘menutup’ (to cover). Dinamakan kafur karena bahan-bahan dasar wewangian yang berasal dari Fansur/Barus tersebut, bermula dari getah pohon yang berada di balik kulitnya hingga tertutup dari pandangan manusia. Untuk mendapatkan getahnya, kulitnya terlebih dahulu harus disingkap. 

Al-Attas juga mengutip Thohir Ibnu Asyur, Mufassir Mesir Kontemporer, dalam al-Tahrir wa al-Tanwir (Juz 15, h. 463): ‘Kafur adalah sejenis minyak yang diambil berasal dari pohon yang bunganya seperti mawar. Pohon ini tumbuh di Cina dan Jawa (Sic-Identifikasi Nusantara), pohon tersebut dapat diproduksi (menjadi wewangian) apabila telah berumur + 200 tahun, kayunya dipanaskan, kemudian diambil minyaknya yang disebut ‘kafur’.

76_21.png
220px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_Koransc

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, dalam Pengantar buku Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta Seorang Musafir Muslim Abad Ke-14, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), Cet. Ke-2
Adam, Asvi Warman, Walisongo Berasal dari Cina, dalam Pengantar buku Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS, 2005), Cet. Ke-1 
Ahmad, Zainal Abidin, Ilmu Politik Islam V: Sejarah Islam dan Umatnya sampai Sekarang (Perkembangannya dari Zaman ke Zaman), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. Ke-1
Al-Masyhur, Idrus Alwi, Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad saw di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India, dan Afrika, (Jakarta: Saraz Publishing, 2010), Cet. Ke-2
Al-Qurtuby, Sumanto, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003)
Ambary,  Hasan Muarif, dalam Pengantar buku Jim Antoniou, Menyelamatkan Kota-kota Islam, (Jakarta: Idayus, 1999)
Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nashional, 1998)
Antoniou, Jim, Menyelamatkan Kota-kota Islam, (Jakarta: Idayus, 1999)
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), Cet. Ke-1
Azra, Azyumardi, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, (Jakarta: Mizan, 2002)
Berg, L.W.C. van den., Orang Arab di Nusantara, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010)
Dahana, A., dalam Kata Pengantar buku Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, (Jakarta: Kompas Penerbit, 2010)
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), Cet. Ke-1
Dunn, Ross E., Petualangan Ibnu Battuta Seorang Musafir Muslim Abad Ke-14, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), Cet. Ke-2
Muljana, Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS, 2005), Cet. Ke-1
Parlindungan, Mangaradja Onggang, Tuanku Rao, (Penerbit Tandjung Pengharapan, t.t)
Ricklefs, M.C., (Terj.), Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, Oktober 2008), Cet. Ke-2
Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, Oktober 2009)
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2000), Cet. Ke-1
Vlekke, Bernard H.M., (Terj.), Nusantara, Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), Cet. Ke-5
Yuanzhi, Kong, Muslim Tionghoa, Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), Cet. Ke-1

@2020 MWCNU Ciledug

bottom of page